Nama : elva triana
Semester : VII
Konsep multikulturalisme dalam pandangan islam
Di era
multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan agama sedang mendapat tantangan
karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari
eksklusifitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim non-muslim, surga-neraka
seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas selalu diindoktrinasi.
Pelajaran
teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju
surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain.
Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak
toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan
reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman
keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis, multikultural,
humanis, dialogis-persuasif, kontestual, substantif dan aktif sosial.
Paradigma
keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti menerima pandapat dan pemahaman
lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Pemahaman keberagamaan yang
multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung
nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang humanis adalah mengakui
pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama, artinya seorang yang
beragama harus dapat mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan; menghormati
hak asasi orang lain, peduli terhadap orang lain dan berusaha membangun
perdamaian bagi seluruih umat manusia.
Paradigma
dialogis-persuasif lebih mengedepankan dialog dan cara-cara damai dalam melihat
perselisihan dan perbedaan pemahaman keagmaan dari pada melakukan
tindakan-tondakan fisik seperti teror, perang, dan bentuk kekerasan lainnya.
Paradigma kontekstual berarti menerapkan cara berfikir kritis dalam memahami
teks-teks keagamaan. Paradigma keagamaan yang substantif berarti lebih
mementingkan dan menerapkan nilai-nialai agama dari pada hanya melihat dan
mengagungkan simbol-simbol keagamaan. Sedangkan paradigma pemahaman keagmaan
aktif sosial berati agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan rohani
secara pribadi saja. Akan tetapi yang terpenting adalah membangun kebersamaan
dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang nyata yang
dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia, kita dapat berfikir
dan bila kita mencermati berbagai kasus terjadinya konflik keagamaan akhir-akhir ini, salah satu faktor penyebabnya adalah adanya paradigma keberagamaan masyarakat yang bersifat eksklusif. Karena itu, diperlukan langkah-langkah preventif untuk mencegah berkembangnya paradigma tersebut, yaitu dengan membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual melalui pendidikan, media massa, dan interaksi sosial.
dan bila kita mencermati berbagai kasus terjadinya konflik keagamaan akhir-akhir ini, salah satu faktor penyebabnya adalah adanya paradigma keberagamaan masyarakat yang bersifat eksklusif. Karena itu, diperlukan langkah-langkah preventif untuk mencegah berkembangnya paradigma tersebut, yaitu dengan membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual melalui pendidikan, media massa, dan interaksi sosial.
B.
NILAI NILAI KEBERAGAMAN INKLUSIF DI SEKOLAH
menanamkan
nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put
yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan
disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai
keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan
kepercayaan lain.
Dalam
membangun pemahaman keberagaman siswa yang inklusif, guru mempunyai posisi
penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan inklusif di sekolah.
Adapun peran guru di sini, meliputi;
1.
seorang guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap
maupun perkataannya tidak diskriminatif.
2.
guru/dosen seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian
tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali
(2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan
keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut.
3.
guru/dosen seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah
menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia, maka
pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang
dilarang oleh agama.
4.
guru/dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan
musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
keragaman budaya, etnis, dan agama
0 komentar:
Post a Comment